Makan Daging Saudaranya Sendiri...(gossip/ghibah)
oleh Muhammad Iqbal Al-abror pada 21 Desember 2010 jam 5:51
Catatan Anda telah dibuat
Bismillah....
Suatu ketika, baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam. terlihat sedang menasehati dua orang laki-laki yang diketahuinya telah ber-ghîbah tentang Salmân al-Fârisî ra. Beliau menyindir mereka dengan sebuah metafora.
"Aku melihat warna merah bekas daging di mulut kalian!" sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam
"Kami tidak memiliki sesuatu, dan kami tidak memakan sekerat daging pun hari ini!" jawab dua orang laki-laki tadi masih menyimpan rasa heran, tak memahami apa maksud sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam tersebut.
Mengetahui hal itu, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam pun segera menjelaskannya, "Kalian berdua telah ber-ghîbah tentang saudara kalian!"
Senyap sejenak...
Kemudian beliau bersabda lagi, "Apakah kalian senang makan daging bangkai?"
"Tidak!" jawab mereka lekas.
Lalu Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam melanjutkan sabdanya, "Ketika kalian tak senang memakan daging bangkai, maka janganlah ber-ghîbah. Karena sesungguhnya orang yang ber-ghîbah tentang saudaranya, sama artinya ia telah memakan daging saudaranya itu!" nasehat beliau terdengar tegas, meresap sampai ke dalam jiwa, penuh makna. Kemudian turunlah firman Alloh Swt. tentang larangan ber-ghîbah (QS. Al-Hujurât: 12).
***
Pernahkah terpikir sebelumnya? Ketika kita berbicara, sebenarnya suara dari sejumlah kalimat yang kita ucapkan, untuk satu kata saja, berarti ada beberapa huruf yang telah dilafalkan, dan untuk setiap huruf yang dilafalkan berarti ada sekian energi yang telah digunakan. Disadari atau tidak, saat itu fungsi kerja dari ratusan urat syaraf yang ada menjadi aktif. Demikian pula halnya dengan fungsi kerja pita suara, pernapasan, dan sejumlah jaringan otot lainnya.
Bayangkan! Hanya untuk sekedar mengeluh, mengucapkan kata "aduh" misalnya, kita telah menghabiskan energi gerak sejumlah otot yang ada, utamanya yang terletak menempel pada bagian dinding tenggorokan, dari total enam ratusan otot tubuh manusia. Didukung juga oleh peran wajah, bibir, hidung, dan lidah. Bila kemudian kata yang diucapkan bernilai positif, maka betapa besar pahala yang diperoleh. Namun sebaliknya, bila kata yang nantinya diucapkan bernilai negatif, maka betapa besar kerugian yang diakibatkannya! Sesaat coba kita renungkan kembali, untuk satu kata yang terucap, berapakah energi yang sudah digunakan tanpa tujuan? Dan untuk setiap energi yang habis digunakan, berapakah protein yang saat itu sudah terpakai, juga kalsium yang sudah terbuang dari dalam sel-sel tubuh secara percuma? Belum lagi kalkulasi kerugian ion-ion listrik (sodium dan potasium) dari setiap gerak otot yang bekerja. Lâ Hawla Wa Lâ Quwwata Illâ Billâh!
***
Islam telah mengajarkan ummatnya cara memaknai hidup yang baik, dan menjadikannya berharga. Taat mengikuti perintah Alloh Swt. dan ikhlas berada dalam bimbingan Rasululloh Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam., atau disebut pula dengan ittibâ'. Diantara bentuk ittibâ' ini adalah dengan mengamalkan adab berbicara dan mendengarkan secara efesien, tanpa mubazir.
Setiap ucapan yang positif, oleh baginda Rasul Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam telah diberikan penghargaan (apresiasi), pengayoman, dan perhatian penuh kepadanya. Perhatikan bagaimana saat Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam memberi teladan cara mendengar serta memperhatikan ucapan orang lain. Pandangan baginda terasa meliputi setiap yang bertanya kepada beliau dari segala sisi, dan menjaganya dari orang yang mengkritik atau berkata sinis.
Pernah, ketika seorang Badui menghadap baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam dan berkata, "Ya Rasulalloh, pakaian yang kelak digunakan di surga, apakah kami sendiri yang menenunnya dengan tangan?"
Mendengar pertanyaan lugu ini, para sahabat yang hadir pun tak kuat menahan tawa. Namun Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda, "Apakah yang menyebabkan kalian tertawa? Apakah kalian tertawa karena orang yang tidak tahu bertanya kepada orang alim?" lalu beliau mengalihkan pandangannya kepada Badui tadi, "Tidak pakai ditenun, wahai Badui! Tetapi pakaian surga berasal dari buah-buah surga yang terbelah." Lanjutnya kemudian. Sungguh bijaksana!
Berbeda halnya bila yang diucapkan itu bernilai negatif, atau tak bermanfaat untuk didengar. Maka Rasululloh akan segera menegur, memberi nasehat, dan menjelaskan tentang efesiensi berbicara serta fadlîlah (keutamaan) diam sebagai alternatif mutlak sesudahnya. Betapa besar kasih sayang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, beliau sangat memperhatikan sekecil apapun aktifitas ummatnya.
Suatu ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam menegur salah seorang istrinya karena telah menyebut kekurangan istri beliau yang lain, "Kamu telah mengucapkan perkataan yang andaikan dicampur dengan air laut, niscaya perkataan itu akan merubahnya!"
Tidak hanya itu, baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahkan telah melarang setiap ucapan yang bernilai negatif, seperti apapun bentuknya. Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam melarang ummatnya bersumpah serapah, mencela, menghina, melaknat – kecuali yang telah diperintah Al-Qur'an untuk melaknatnya, memfitnah, apalagi berdusta.
Mengenai perkataan dusta, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahkan telah mengkategorikannya sebagai tanda kemunafikan. Pelakunya tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain. Meski demikian, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam mentolerir jika hal itu dilakukan bertujuan demi kemenangan strategi perang, mendamaikan dua pihak yang bertikai (rekonsiliasi), dan menjaga keharmonisan suami istri. Dalam hal ini, nilai-nilai kemaslahatan menjadi landasannya.
Kemaslahatan adalah bagian dari asas utama Islam. Ajarannya yang damai, harmonis dan toleran, menyatu dalam simphoni indah sebagai panduan hidup manusia. Sedangkan bentuk realisasi kemaslahatan ini tercermin pada prilaku kaum muslim itu sendiri, khususnya dari aspek interaksi sosial (mu'âmalah) mereka.
Suatu ketika baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam ditanya oleh Abû Mûsâ al-Asy'ârî ra., "Ya Rasulalloh, siapakah orang Islam yang paling utama itu?"
Beliau menjawab, "orang yang seluruh muslim telah selamat dari lisan dan tangannya."
Sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam di atas jelas mengarah pada konsep kemaslahatan yang seharusnya menjadi karakter ummat Islam di setiap zaman sebagai bentuk realisasi dari ajaran agamanya. Berkata positif, menjaga lidah, efesien dalam berbicara, merupakan bentuk amaliah dari ajaran Islam tersebut, yang semua itu sangat berhubungan erat dengan nilai keimanan. Jika tidak, maka sekali lagi sikap diam menjadi pilihan mutlak sesudahnya.
مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخرِ فَلْيَقُلْ خيراً أو لِيصمُتْ
"Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam saja!" (Muttafaq 'alaih)
***
Berapa banyak lisan yang berbicara telah membunuh pemiliknya, dan berapa banyak lisan yang diam tak berkata-kata telah menyelamatkan nyawa pemiliknya. Suatu saat, mungkin saja seorang hamba meraih kemuliaan di sisi Tuhan karena ucapannya. Dan suatu saat, mungkin saja ia jatuh ke jurang neraka juga karena ucapannya.
Bukankah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. pernah meletakkan batu kerikil di dalam mulutnya demi menahan diri dari berbicara. Lalu ia pun menunjuk ke arah lisannya, seraya berkata, "Inilah yang telah membawaku ke tempat berbahaya!"
Syahdan, semua mesti merunduk, merasa tunduk, ketika Alloh berfirman,"Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. An-Nûr: 24)
Wallahu'alam Bishawab
Jagalah lisan kita...Jagalah lisan kita...Jagalah lisan kita
www.negeriman.blogspot.com
Suatu ketika, baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam. terlihat sedang menasehati dua orang laki-laki yang diketahuinya telah ber-ghîbah tentang Salmân al-Fârisî ra. Beliau menyindir mereka dengan sebuah metafora.
"Aku melihat warna merah bekas daging di mulut kalian!" sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam
"Kami tidak memiliki sesuatu, dan kami tidak memakan sekerat daging pun hari ini!" jawab dua orang laki-laki tadi masih menyimpan rasa heran, tak memahami apa maksud sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam tersebut.
Mengetahui hal itu, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam pun segera menjelaskannya, "Kalian berdua telah ber-ghîbah tentang saudara kalian!"
Senyap sejenak...
Kemudian beliau bersabda lagi, "Apakah kalian senang makan daging bangkai?"
"Tidak!" jawab mereka lekas.
Lalu Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam melanjutkan sabdanya, "Ketika kalian tak senang memakan daging bangkai, maka janganlah ber-ghîbah. Karena sesungguhnya orang yang ber-ghîbah tentang saudaranya, sama artinya ia telah memakan daging saudaranya itu!" nasehat beliau terdengar tegas, meresap sampai ke dalam jiwa, penuh makna. Kemudian turunlah firman Alloh Swt. tentang larangan ber-ghîbah (QS. Al-Hujurât: 12).
***
Pernahkah terpikir sebelumnya? Ketika kita berbicara, sebenarnya suara dari sejumlah kalimat yang kita ucapkan, untuk satu kata saja, berarti ada beberapa huruf yang telah dilafalkan, dan untuk setiap huruf yang dilafalkan berarti ada sekian energi yang telah digunakan. Disadari atau tidak, saat itu fungsi kerja dari ratusan urat syaraf yang ada menjadi aktif. Demikian pula halnya dengan fungsi kerja pita suara, pernapasan, dan sejumlah jaringan otot lainnya.
Bayangkan! Hanya untuk sekedar mengeluh, mengucapkan kata "aduh" misalnya, kita telah menghabiskan energi gerak sejumlah otot yang ada, utamanya yang terletak menempel pada bagian dinding tenggorokan, dari total enam ratusan otot tubuh manusia. Didukung juga oleh peran wajah, bibir, hidung, dan lidah. Bila kemudian kata yang diucapkan bernilai positif, maka betapa besar pahala yang diperoleh. Namun sebaliknya, bila kata yang nantinya diucapkan bernilai negatif, maka betapa besar kerugian yang diakibatkannya! Sesaat coba kita renungkan kembali, untuk satu kata yang terucap, berapakah energi yang sudah digunakan tanpa tujuan? Dan untuk setiap energi yang habis digunakan, berapakah protein yang saat itu sudah terpakai, juga kalsium yang sudah terbuang dari dalam sel-sel tubuh secara percuma? Belum lagi kalkulasi kerugian ion-ion listrik (sodium dan potasium) dari setiap gerak otot yang bekerja. Lâ Hawla Wa Lâ Quwwata Illâ Billâh!
***
Islam telah mengajarkan ummatnya cara memaknai hidup yang baik, dan menjadikannya berharga. Taat mengikuti perintah Alloh Swt. dan ikhlas berada dalam bimbingan Rasululloh Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam., atau disebut pula dengan ittibâ'. Diantara bentuk ittibâ' ini adalah dengan mengamalkan adab berbicara dan mendengarkan secara efesien, tanpa mubazir.
Setiap ucapan yang positif, oleh baginda Rasul Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam telah diberikan penghargaan (apresiasi), pengayoman, dan perhatian penuh kepadanya. Perhatikan bagaimana saat Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam memberi teladan cara mendengar serta memperhatikan ucapan orang lain. Pandangan baginda terasa meliputi setiap yang bertanya kepada beliau dari segala sisi, dan menjaganya dari orang yang mengkritik atau berkata sinis.
Pernah, ketika seorang Badui menghadap baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam dan berkata, "Ya Rasulalloh, pakaian yang kelak digunakan di surga, apakah kami sendiri yang menenunnya dengan tangan?"
Mendengar pertanyaan lugu ini, para sahabat yang hadir pun tak kuat menahan tawa. Namun Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda, "Apakah yang menyebabkan kalian tertawa? Apakah kalian tertawa karena orang yang tidak tahu bertanya kepada orang alim?" lalu beliau mengalihkan pandangannya kepada Badui tadi, "Tidak pakai ditenun, wahai Badui! Tetapi pakaian surga berasal dari buah-buah surga yang terbelah." Lanjutnya kemudian. Sungguh bijaksana!
Berbeda halnya bila yang diucapkan itu bernilai negatif, atau tak bermanfaat untuk didengar. Maka Rasululloh akan segera menegur, memberi nasehat, dan menjelaskan tentang efesiensi berbicara serta fadlîlah (keutamaan) diam sebagai alternatif mutlak sesudahnya. Betapa besar kasih sayang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, beliau sangat memperhatikan sekecil apapun aktifitas ummatnya.
Suatu ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam menegur salah seorang istrinya karena telah menyebut kekurangan istri beliau yang lain, "Kamu telah mengucapkan perkataan yang andaikan dicampur dengan air laut, niscaya perkataan itu akan merubahnya!"
Tidak hanya itu, baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahkan telah melarang setiap ucapan yang bernilai negatif, seperti apapun bentuknya. Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam melarang ummatnya bersumpah serapah, mencela, menghina, melaknat – kecuali yang telah diperintah Al-Qur'an untuk melaknatnya, memfitnah, apalagi berdusta.
Mengenai perkataan dusta, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahkan telah mengkategorikannya sebagai tanda kemunafikan. Pelakunya tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain. Meski demikian, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam mentolerir jika hal itu dilakukan bertujuan demi kemenangan strategi perang, mendamaikan dua pihak yang bertikai (rekonsiliasi), dan menjaga keharmonisan suami istri. Dalam hal ini, nilai-nilai kemaslahatan menjadi landasannya.
Kemaslahatan adalah bagian dari asas utama Islam. Ajarannya yang damai, harmonis dan toleran, menyatu dalam simphoni indah sebagai panduan hidup manusia. Sedangkan bentuk realisasi kemaslahatan ini tercermin pada prilaku kaum muslim itu sendiri, khususnya dari aspek interaksi sosial (mu'âmalah) mereka.
Suatu ketika baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam ditanya oleh Abû Mûsâ al-Asy'ârî ra., "Ya Rasulalloh, siapakah orang Islam yang paling utama itu?"
Beliau menjawab, "orang yang seluruh muslim telah selamat dari lisan dan tangannya."
Sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam di atas jelas mengarah pada konsep kemaslahatan yang seharusnya menjadi karakter ummat Islam di setiap zaman sebagai bentuk realisasi dari ajaran agamanya. Berkata positif, menjaga lidah, efesien dalam berbicara, merupakan bentuk amaliah dari ajaran Islam tersebut, yang semua itu sangat berhubungan erat dengan nilai keimanan. Jika tidak, maka sekali lagi sikap diam menjadi pilihan mutlak sesudahnya.
مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِالله وَالْيَوْمِ الآخرِ فَلْيَقُلْ خيراً أو لِيصمُتْ
"Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam saja!" (Muttafaq 'alaih)
***
Berapa banyak lisan yang berbicara telah membunuh pemiliknya, dan berapa banyak lisan yang diam tak berkata-kata telah menyelamatkan nyawa pemiliknya. Suatu saat, mungkin saja seorang hamba meraih kemuliaan di sisi Tuhan karena ucapannya. Dan suatu saat, mungkin saja ia jatuh ke jurang neraka juga karena ucapannya.
Bukankah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. pernah meletakkan batu kerikil di dalam mulutnya demi menahan diri dari berbicara. Lalu ia pun menunjuk ke arah lisannya, seraya berkata, "Inilah yang telah membawaku ke tempat berbahaya!"
Syahdan, semua mesti merunduk, merasa tunduk, ketika Alloh berfirman,"Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. An-Nûr: 24)
Wallahu'alam Bishawab
Jagalah lisan kita...Jagalah lisan kita...Jagalah lisan kita
www.negeriman.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar